search

pengganti kartu kredit

Daftar ke PayPal dan mulai terima pembayaran kartu kredit secara instan.">

Selasa, 04 Oktober 2011

Hama & Penyakit Lele

Hama pada lele adalah binatang tingkat tinggi yang langsung mengganggu kehidupan lele. Di alam bebas dan di kolam terbuka, hama yang sering menyerang lele antara lain berang-berang, ular, katak, burung, serangga, musang air, ikan gabus dan belut.Di pekarangan, terutama yang ada di perkotaan, hama yang sering menyerang hanya katak dan kucing. Pemeliharaan lele secara intensif tidak banyak diserang hama.
Penyakit parasit adalah penyakit yang disebabkan oleh organisme tingkat rendah seperti virus, bakteri, jamur, dan protozoa yang berukuran kecil.

Jenis hama/penyakit
1. Penyakit karena bakteri Aeromonas hydrophilla dan Pseudomonas hydrophylla
Bentuk bakteri ini seperti batang dengan cambuk yang terletak di ujung batang, dan cambuk ini digunakan untuk bergerak. Ukurannya 0,7-0,8 x 1-1,5 mikron.
Gejala: lele yang terkena bakteri ini: warna tubuh menjadi gelap, kulit kesat dan timbul pendarahan. Lele bernafas megap-megap di permukaan air.
Pencegahan: lingkungan harus tetap bersih, termasuk kualitas air harus baik.
Pengobatan: melalui makanan antara lain pakan dicampur Terramycine dengan dosis 50 mg/kg ikan/hari, diberikan selama 7-10 hari berturut-turut atau dengan Sulphonamid sebanyak 100 mg/kg ikan/hari selama 3-4 hari.

2. Penyakit tuberculosis yang disebabkan bakteri Mycobacterium fortoitum
Gejalanya: tubuh ikan berwarna gelap, perut bengkak (karena tubercle/bintil-bintil pada hati, ginjal, dan limpa). Posisi berdiri di permukaan air, berputar-putar atau miring-miring, bintik putih di sekitar mulut dan sirip.
Pengendalian: memperbaiki kualitas air dan lingkungan kolam.
Pengobatan: dengan Terramycin dicampur dengan makanan 5-7,5 gram/100 kg ikan/hari selama 5-15 hari.

3. Penyakit karena jamur/candawan Saprolegnia.
Penyebab: jamur ini tumbuh menjadi saprofit pada jaringan tubuh yang mati atau ikan yang kondisinya lemah.
Gejala: ikan ditumbuhi sekumpulan benang halus seperti kapas, pada daerah luka atau ikan yang sudah lemah, menyerang daerah kepala tutup insang, sirip, dan tubuh lainnya. Penyerangan pada telur, maka telur tersebut diliputi benang seperti kapas.
Pengendalian: benih gelondongan dan ikan dewasa direndam pada Malachyte Green Oxalate 2,5-3 ppm selama 30 menit dan telur direndam Malachyte Green Oxalate 0,1-0,2 ppm selama 1 jam atau 5-10 ppm selama 15 menit.

4. Penyakit bintik putih dan gatal (Trichodiniasis)
Penyebab: parasit dari golongan Ciliata, bentuknya bulat, kadang-kadang amuboid, mempunyai inti berbentuk tapal kuda, disebut Ichthyophthirius multifilis.
Gejala:
(1) ikan yang diserang sangat lemah dan selalu timbul di permukaan air;
(2) terdapat bintik-bintik berwarna putih pada kulit, sirip dan insang;
(3) ikan sering menggosok-gosokkan tubuh pada dasar atau dinding kolam.
Pengendalian: air harus dijaga kualitas dan kuantitasnya.
Pengobatan: dengan cara perendaman ikan yang terkena infeksi pada campuran larutan formalin 25 cc/m3 dengan larutan Malachyte Green Oxalate 0,1 gram/m3 selama 12-24 jam, kemudian ikan diberi air yang segar. Pengobatan diulang setelah 3 hari

5. Penyakit cacing Trematoda
Penyebab: cacing kecil Gyrodactylus dan Dactylogyrus. Cacing Dactylogyrus menyerang insang, sedangkan cacing Gyrodactylus menyerang kulit dan sirip.
Gejala: insang yang dirusak menjadi luka-luka, kemudian timbul pendarahan yang akibatnya pernafasan terganggu.
Pengendalian:
(1) direndam formalin 250 cc/m3 air selama 15 menit;
(2) Methyline Blue 3 ppm selama 24 jam;
(3) menyelupkan tubuh ikan ke dalam larutan Kalium Permanganat (KMnO4) 0,01% selama ±30 menit;
(4) memakai larutan NaCl 2% selama ± 30 menit;
(5) dapat juga memakai larutan NH4OH 0,5% selama ±10 menit.

6. Parasit Hirudinae
Penyebab: lintah Hirudinae, cacing berwarna merah kecoklatan.
Gejala: pertumbuhannya lambat, karena darah terhisap oleh parasit, sehingga menyebabkan anemia/kurang darah.
Pengendalian: selalu diamati pada saat mengurangi padat tebar dan dengan larutan Diterex 0,5 ppm.
Apabila lele menunjukkan tanda-tanda sakit, harus dikontrol faktor penyebabnya, kemudian kondisi tersebut harus segera diubah, misalnya :
1. Bila suhu terlalu tinggi, kolam diberi peneduh sementara dan air diganti dengan yang suhunya lebih dingin.
2. Bila pH terlalu rendah, diberi larutan kapur 10 gram/100 l air.
3. Bila kandungan gas-gas beracun (H2S, CO2), maka air harus segera diganti.
4. Bila makanan kurang, harus ditambah dosis makanannya.

Kultur Infusoria

Infusuria adalah hewan mikroorganisme yang hidup disuatu perairan, merupakan makanan alami bagi benih ikan, ikan kecil baik ikan konsumsi maupun ikan hias.
1.     Biologi Infusoria
Infusoria merupakan kumpulan organisme bersel tunggal yang terdiri dari 2 kelompok, yaitu kelompok ciliate dan kelompok flagelata. Pemisahan antara kedua kelompok tersebut dibedakan  pada alat gerak. Kebanyakan ciliate merupakan kumpulan hewan-hewan bersel tunggal yang memiliki alat gerak berupa rambut getar (cilia). Contoh hewanini adalah Paramaecium caudatum, Didinium narutum, Colpidium campulum dll. Sedangkan kelompok flagellate merupakan kumpulan organism bersel tunggal yang memiliki alat gerak berupa bulu cambuk (flagel), contoh : Euglena viridis, Chlamidomonas sp, Pandorina sp, Chilomonas sp. dll.   Infusoria adalah golongan Protozoa, pada umumnya hidup pada perairan air tawar, dan sebagian kcil hidup diperairan air laut. Makanan infusoria adalah bakteri , ganggang renik, ragi detritus dan protozoa lain yang ukurannya lebih kecil. Infusoria biasa hidup diperairan yang tercemar, rendaman jerami, limbah rumah tangga dll. Berkembang biak dengan  pembelahan sel dan konjugasi. Ukutan infusoria antara 40 – 100 mikron, hidup menggerombol, sistim pernafasan dilakukan di seluruh permukan tubuh (difusi).
2.     Penangkaran / Pembibitan infusoria
a.      Meyiapkan wadah yang bersih dan kering (cawan petri)
b.      Menyiapkan air media ( air rebusan jerami ), caranya ambil jerami kering 70 gram dipotong-potong lalu direbus selama 15 menit. Selain jerami dapat digunakan tokolan, aun selada, kacang panjang, kacang hijau dan bahan lainnya.
c.       Air rebusan disaring dengan kain halus.
d.      Air saringan diencerkan menjadi 2 kali (2 liter) dari volume semula.
e.      Air saringan diambil 15 ml dan diencerkan hingga menjadi 150 ml
f.        Ir  media dituangkan kedalam cawan petri, lalu diberi bibit infusoria disimpan pada tempat yang gelap dengan suhu 28 oC
g.      Air media setelah 1 – 2 minggu, akan berkembang biak menjadi padat dan dapat digunkan untuk bibit pada kultur semi masal atau masal

3.     Kultur Infusoria Semi Masal
a.      Menyiapkan wadah yang bersih : bak beton, feberglas , akuarium atau lainnya
b.      Membuat media : bak diisi air yang disaring, diberi jerami kering, atau sampah. Bila perlu air media diaerasi. Biarkan selama 1 minggu.
c.       Setelah satu minggu , maka air media ditumbuhi oleh bakteri, cendawan ganggang, (merupakan makanan bagi infusoria.
d.      Ditebari bibit infusoria.
e.      Panen dilakukan setelah umur 1 minggu, untuk makanan, benih ikan, ikan kecil.

4.     Kultur Infusuria Secara Masal
a.      Siapkan kolam atau bak beton ukuran 1 ton atau lebih
b.      Wadah  diisi air mntah (air tawar, air payau, atau air laut) tergantung jenis Infusurianya.
c.       Air media dimasukkan jerami atau rumput kering ditambah pupuk kandang.
d.      Setelah satu minggu maka air meia akan ditumbui oleh bakteri, cendawan, plankton, dan ganggng, yang nantinya akan menjadi makanan Infusuria.
e.      Air media ditulari bibit Infusuria.
f.        Dalam waktu satu minggu Infusuria akan tumbuh padat yang ditandai warna air media berubah menjadi keputih-putihan.
g.      Infusuria siap dipanen untuk diberikan benih-benih ikan atau ikan-ikan bertubuh kecil, seperti ikan moly, ikan Gupy dan lainnya. Cara panen dengan mengambil air media dengan timba dan airnya disaring dengan seser halus agar kotoran tidak ikut, cara memberikan untuk makanan ikan cukup disiramkan merata kedalam wadah kultur Infusuria.

5.     Cara pemberian makanan infusuria untuk ikan
Diberikan dengan cara mengambil infusuria bersama airnya dengan menggunakan baskom atau ember, lalu ditebarkan pada media pemeliharaan ikan di kolam, bak atau diakuarium. Sesuai dengan takaran atau dosis yang dikehendaki. Contoh satu bak pemeliharaan ikan ukuran 1 m3 atau 1000 liter diberikan 5 liter air infusuria.

Sabtu, 01 Oktober 2011

Kerangka Tinjauan Pustaka Dalam Manajemen Pakan Pada Larva udang Vannamai

2.1.      Biologi Udang Vannamei
2.1.1.   Klasifikasi
Menurut Haliman dan Adijaya (2005), klasifikasi udang vannamei (Litopenaeus vannamei) adalah sebagai berikut :
Kingdom                : Animalia
Subkingdom          : Metazoa
Filum                     : Artrhopoda
Subfilum                : Crustacea
Kelas                     : Malascostraca
Subkelas               : Eumalacostraca
Superordo             : Eucarida
Ordo                      : Decapoda
Subordo                : Dendrobrachiata
Famili                    : Penaeidae
Genus                   : Litopenaeus
Spesies                 : Litopenaeus vannamei

2.1.2.   Morfologi
Tubuh udang vannamei dibentuk oleh dua cabang atau (biramous) yaitu exopodite dan endopodite. Vannamei memiliki tubuh berbuku-buku dan aktifitas berganti kulit luar atau eksoskeleton secara periodik (moulting). Bagian chephalothorax udang vannamei sudah mengalami modifikasi sehingga dapat digunakan untuk keperluan sebagai berikut:
·         Makan, bergerak dan membenamkan diri dalam lumpur (burrowing).
·         Menopang insang karena struktur insang mirip bulu unggas.
·         Organ sensor, seperti pada antena dan antenula.
Gambar 1. Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei)
            Kepala (Chephalothorax) udang vannamei terdiri dari antenula, antenna, mandibula, dan dua pasang maxillae. Kepala udang vannamei juga dilengkapi dengan tiga pasang maxiliped dan lima pasang kaki berjalan (peripoda) atau kaki sepuluh (decapoda). Maxipiliped sudah mengalami modifikasi dan berfungsi sebagai organ untuk makan. Bentuk peripoda beruas-ruas yang berujung di bagian dactylus. Dactylus ada yang berbentuk capit (kaki 1,2 dan 3) dan tanpa capit kaki 4 dan 5.
Perut (abdomen) terdiri dari 6 ruas. Pada bagian abdomen terdapat 5 pasang kaki renang dan sepasang uropod (mirip ekor) yang berbentuk kipas bersama-sama telson (Haliman dan Adijaya, 2005).
2.1.3.   Tingkah Laku
Dalam usaha pembenihan udang, perlu adanya pengetahuan tentang tingkah laku udang. Menurut Haliman dan Adiwijaya (2005), beberapa tingkah laku udang yang perlu diketahui antara lain:
1.    Sifat nokturnal
Yaitu sifat binatang yang aktif mencari makan pada waktu malam, dan siang hari udang vannamei lebih suka beristirahat, baik membenamkan diri pada lumpur maupun menempel pada suatu benda yang terbenam.
2.    Sifat kanibalisme
      Yaitu sifat suka memangsa sejenisnya. Sifat ini sering timbul pada udang yang kondisinya sehat, yang tidak sedang ganti kulit. Sasarannya adalah udang-udang yang kebetulan ganti kulit.
3.    Ganti kulit (moulting)
Yaitu suatu proses pergantian kutikula lama digantikan dengan kutikula yang baru. Kutikula adalah kerangka luar udang yang keras (tidak elastis). Oleh karena itu untuk tumbuh menjadi besar udang vannamei perlu melepas kulit lama dan menggantikan dengan kulit baru.
4.    Daya tahan
Udang pada waktu masih berupa benih sangat tahan pada perubahan kadar garam (salinitas). Sifat demikian dinamakan sifat euryhaline. Sifat lain yang menguntungkan adalah ketahanan terhadap perubahan suhu dan sifat ini dikenal sebagai Eurytherma.
5.    Menyukai hidup di dasar (bentik).
6.    Tipe pemakan lambat tetapi terus menerus (continous feeder).
Dengan mengetahui tingkah laku larva udang vannamei di atas, maka akan mudah untuk menentukan menejemen pakan yang baik.
2.1.4.   Perkembangan Larva
Telur yang telah menetas pada dasarnya masih bersifat planktonis dan bergerak mengikuti arus air. Dalam perkembangan pertumbuhannya, larva akan berkembang sempurna dengan kondisi suhu 26o - 280C, oksigen terlarut 5 - 7 mg/l, salinitas 35 ppt. Setelah menetas larva akan berkembang menjadi 3 stadia yaitu nauplius, zoea, mysis. Setiap stadia akan dibedakan menjadi sub stadia sesuai dengan perkembangan morfologinya. Pergantian stadia terjadi setelah larva mengalami pergantian kulit (moulting).
Menurut Martosudarmo dan Ranoemirahardjo (1980), perkembangan larva udang vannamei pada setiap stadia mulai dari stadia nauplius sampai stadia post larva sebagai berikut:
1.      Stadia Nauplius
         Stadia ini terbagi menjadi enam tingkatan dan berlangsung antara 35 - 50 jam. Pada stadia ini belum memerlukan makanan dari luar karena masih memiiki cadangan makanan dari kuning telur. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Stadia Perkembangan Naupli.
Stadia
Karakteristik
Nauplius I
Bentuk badan bulat telur dan mempunyai anggota badan tiga pasang
Nauplius II
Pada ujung antena pertama terdapat setai (rambut) yang satu panjang dan dua buah yang pendek
Nauplius III
Dua buah furcel mulai tampak jelas dengan masing-masing tiga duri (spine), tunas maxillaped mulai tampak
Nauplius IV
Masing-masing furcel terdapat empat buah duri ,exopoda pada antena kedua beruas-ruas
Nauplius V
Struktur tonjolan tumbuh pada pangkal maxilla dan organ pada bagian depan sudah mulai Nampak jelas
Sumber : Martosudarmo dan Ranoemirahardjo (1980)
 
Nauplius VI
Perkembangan bulu-bulu makin sempurna dan duri pada furcel tumbuh makin panjang


2.      Stadia Zoea
         Pada fase ini larva mulai tampak aktif mengambil makanan sendiri dari luar, terutama plankton. Fase zoea berlangsung selama 3 - 4 hari (3 stadia). Adapun ciri-ciri dari setiap stadia dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Tabel Perkembangan Stadia Zoea.
Stadia
 Karakteristik
Zoea I
Badan pipih, mata dan carapace mulai nampa, maxilla pertama dan kedua serta maxilliped pertama dan kedua mulai berfungsi. Proses furcel mulai sempurna dan alat pencernaan makanan tampak jelas.
Zoea II
Mata mulai bertangkai dan pada carapace sudah terlihat rostrum dan duri pada supra orbital yang bercabang.
Zoea III
Sepasang uropoda yang bercabang dua mulai berkembang dan duri pada ruas-ruas perut mulai tumbuh.
Sumber : Martosudarmo dan Ranoemirahardjo (1980).




                         I                                            II                                      III
Gambar 2. Stadia Zoea I-III

3.      Stadia Mysis
         Setelah fase zoea selesai maka stadia selanjutnya adalah fase mysis yang berlangsung selama 4 - 5 hari. Fase mysis mengalami 3 kali perubahan atau stadia. Tanda- tanda stadia mysis dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Stadia Perkembangan Mysis.
Stadia
Karakteristik
Mysis I
Bentuk udang sudah seperti udang dewasa
Mysis II
Tunas kaki renang/pleopoda mulai nampak nyata, tetapi belum beruas-ruas
Mysis III
Kaki renang/pleopoda bertambah panjang dan beruas-ruas
Sumber : Martosudarmo dan Raboemihardjo (1980).






Gambar 3. Stadia Mysis I-III
4.      Stadia Post Larva (PL)
         Bentuk paling akhir dan paling sempurna dari seluruh metamorfosa adalah post larva (PL). Pada fase ini tidak mengalami perubahan bentuk karena seluruh bagian anggota tubuh sudah lengkap dan sempurna seperti udang dewasa. Post larva yang berumur 20 - 25 hari dapat dilepas di tambak.






Gambar 4. Stadia PL 1 - 10
2.2.   Persyaratan Lokasi
         Pemilihan lokasi merupakan faktor utama dalam menentukan keberhasilan pembenihan udang vannamei. Subaidah, dkk (2006), menyatakan tentang beberapa faktor harus memenuhi persyaratan untuk memilih lokasi yang paling sesuai, yang terbagi dalam dua kriteria yaitu kriteria teknis dan kriteria non teknis. Sedangkan beberapa aspek yang mendukung keberhasilan produksi benih yaitu:
a.      Aspek teknis dengan maksud agar dalam pembangunannya, tata bangunan pembenihan yang akan dibangun dapat produktif dan efisien.
b.      Aspek ekonomi dengan maksud agar pembenihan yang akan dibangun memang layak secara ekonomi.
c.      Aspek sosial budaya dengan maksud agar proses pembangunan unit pembenihan searah dengan budaya lokal.
d.      Aspek lingkungan dengan maksud agar pembangunan unit pembenihan berwawasan lingkungan dan ramah lingkungan.

2.3.   Manajemen Pakan Larva Udang Vannamei
2.3.1.Persyaratan Nutrisi Pakan
         Menurut Ghuhron, (2010) nutrisi adalah kandungan gizi yang terkandung dalam pakan. Apabila pakan yang diberikankepada udang pemeliharaan mempunyai kandungan nutrisi yang cukup tinggi, maka hal ini tidak saja akan menjamin hidup dan aktifitas udang, tetapi juga akan mempercepat pertumbuhannya. Dengan demikian, sebelum membuat pakan, nutrisi yang didibutuhkan udang perlu diketahui terlebih dahulu. Banyaknya zat – zat gizi yang dibutuhkan ini disamping tergantung pada spesies udang, juga pada ukuran atau besarnya udang serta keadaan lingkungan tempat hidupnya. Nilai nutrisi pakan pada umumnya dilihat dari komposisi zat gizinya. Beberapa komponen nutrisi yang penting dan harus tersedia dalam pakan udang antara lain protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral.
a.      Protein
         Protein merupakan senyawa organik kompleks, tersusun atas banyak asam amino yang mengandung unsur-unsur C (carbon), H (hidrogen), O (oksigen), dan N (nitrogen) yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat. Molekul protein mengandung pula fospor dan sulfur. Protein sangat penting bagi tubuh, karena zat ini mempunyai fungsi sebagai bahan - bahan dalam tubuh serta sebagai zat pembangun (membentuk berbagai jaringan baru untuk pertumbuhan), zat pengatur (pembentukan enzim dan hormon penjaga dan pengatur proses metabolisme) dan zat pembakar (unsur karbon yang terkandung di dalamnya dapat difungsikan sebagai sumber energi (Ghufron, 2010) Hasil penelitian dilakukan oleh Colvin dan Brand (1977) menunjukan bahwa untuk pertumbuhan udang jenis Penaeus californiensis, penaeus stylirostris dan penaeus vannamei ukuran pasca lava dibutuhkan 40% protein dalam pakannya, sedangkan untuk juvenil dibutuhkan protein 30%
b.      Lemak
         Lemak dibutuhkan sebagai sumber energi yang paling besar diantara protein dan karbohidrat. Untuk udang, asam lemak mempunyai peranan penting, baik sebagai sumber energi maupun sebagai zat yang esensial untuk udang. Satu gram lemak dapat menghasilkan 9 kkal per gram sedangkan karbohidrat dan protein hanya menghasilkan 4 kkal per gram. Lemak juga berfungsi membantu proses metabolisme, osmoregulasi, dan menjaga keseimbangan organisme di dalam air. Keberhasilan pemeliharaan larva udang harus memperhatikan kebutuhan komposisi asam lemak dari sumber nabati dan asam lemak dari sumber minyak hewani. Beberapa sumber lemak dapat ditambahkan ke dalam pakan sebagai sumber energi, seperti minyak ikan, minyak jagung, dll. Namun kadar lemak dalam pakan buatan tidak boleh berlebihan karena akan mempengaruhi mutu pakan (Ghufron, 2010)
c.      Karbohidrat
         Karbohidrat merupakan senyawa organik yang terdiri dari unsur karbon, hidrogen, dan oksigen dalam perbandingan tertentu. Udang pada stadia larva memerlukan karbohidrat dalam jumlah yang relatif kecil, hal ini disebabkan pada stadia larva mengalami pertumbuhan yang sangat pesat, sehingga yang diperlukan adalah zat putih telur atau protein. Kandungan karbohidrat untuk larva udang agar dicapai pertumbuhan optimal adalah lebih rendah dari 20% (Wardiningsih, 1999).
d.      Vitamin
         Vitamin adalah zat organik yang diperlukan tubuh udang dalam jumlah sedikit, tetapi sangat penting untukmempertahankan pertumbuhan dan pemeliharaan kondisi tubuh. Walaupun jumlah vitamin yang diperlukan udang sangat sedikit dibandingkan dengan zat yang lainnya, namun kekurangan dari salah satu vitamin akan menyebabkan gejala tidak normal pada udang sehingga akan mengganggu proses pertumbuhannya (Ghufron, 2010).
         Menurut Kanazawa (1976) bahwa pertumbuhan juvenile penaeus untuk setiap 100gr pakan perlu ditambahkan 300mg vitamin C, 400 mg inisitol, 6 - 12 mg vitamin B1 dan 12 mg vitamin B6.
e.      Mineral
         Mineral adalah bahan organik yang dibutuhkan oleh udang dengan cara menyerapnya dari air atau tempat media hidupnya. Udang memerlukan mineral untuk pembentukan jaringan tubuh, proses metabolisme serta untuk mempertahankan keseimbangan osmosis antara cairan jaringan tubuh dan air di lingkungannya (Wardiningsih, 1999).
         Menurut penelian Kanazawa (1976) bahwa pertumbuhan terbaik dapat dicapai oleh udang melalui pemberian pakan dengan penambahan 1,04% fosfor dan 1,24% kalsium.
2.3.2.Pemberian Pakan
         Menurut Wardiningsih (1999), menyatakan bahwa ada beberapa hal yang diperhatikan di dalam pemberian pakan yaitu jenis pakan, Secara umum pakan yang diberikan pada larva udang vannamei selama proses pemeliharaan ada dua jenis yaitu pakan alami (phytoplankton dan zooplankton) dan pakan komersil (buatan). Secara alami makanan udang adalah plankton. Adapun jenis plankton yang baik dan memenuhi syarat dijadikan makanan larva udang, khususnya pada stadia zoea dan mysis memerlukan pakan plankton berupa Tetracellmis, Chaetoceros calcitrans, sedangkan pada stadia akhir mysis sampai pada post larva makanan yang paling baik adalah Artemia salina.
2.3.3.Pakan Alami
         Jenis - jenis pakan alami yang dikonsumsi udang sangat bervariasi tergantung umurnya. Dalam usaha budidaya biasanya menggunakan pakan alami plankton. Plankton adalah jasad renik yang melayang di dalam kolom air mengikuti gerakan air. Plankton dapat dikelompokkan menjadi dua :
·         Fitoplankton, jasad nabati yang dapat melakukan fotosintesis karena mengandung klorofil; terdiri dari satu sel atau banyak sel.
·         Zooplankton, jasad hewani yang tidak dapat melakukan fotosintesis zoo-plankton memakan fitoplankton. Zooplankton juga merupakan jasad hewani mikro yang melayang di dalam air yang pergerakannya dipengaruhi arus. Zooplankton adalah kategorisasi untuk organisme kecil.
         Menurut Cahyaningsih (2006), pakan alami dari jenis zooplankton yang diberikan pada larva udang vannamei antara lain dapat berupa Artemia salina dengan cara dilakukan pengkulturan selama 24 jam dalam wadah berupa gallon air minum volume 20 liter, baru kemudian dapat diberikan pada larva udang vannamei pada M3 - PL1 dengan kepadatan 3 - 4 individu/ml, pada PL2 - PL5 dengan kepadatan 8 - 10 individu/ml, dan PL6 - PL10 dengan kepadatan 11 - 13 individu/ml.
         Nauplius artemia merupakan zooplankton yang banyak diberikan pada larva udang. Hal ini dikarenakan nauplius artemia banyak mengandung nilai nutrisi yang dibutuhkan oleh larva udang. Kandungan nutrisi nauplius artemia terdiri atas protein, karbohidrat, lemak, air, dan abu.adapun komposisi artemia selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kandungan Nutrisi Nauplius Artemia
Jenis Nutrisi
Komposisi %
Protein
52,50
Karbohidrat
14,8
Lemak
23,40
Air
5 - 10
Abu
3 - 4
Sumber : Leger,(1987)
         Teknik penetasan kista artemia dilakukan dengan conical tank yang berkapasitas 200 liter. Sedangkan bahan yang digunakan untuk proses dekapsulasi kista artemia adalah klorin (NaOCl) dan soda api. Sumber air diperoleh dari air laut dengan menggunakan pompa air dan sumber air tawar berasal dari sumur. Kualitas air yang terukur adalah suhu air 31oC, salinitas 34 promil, pH 8 dan cahaya dari dua buah lampu 40 watt. Pemanenan nauplius artemia dilakukan setiap hari dan langsung dikonsumsikan pada larva udang vannamei stadia post larva (PL1 - PL4). Proses pemberian nauplius artemia dilakukan sebanyak 3 kali yaitu pada pukul 08.00, 13.00, 19.00. Selain pemberian nauplius artemia larva udang vannamei juga diberikan pakan alami Chaetoceros gracilis dan pakan buatan dari pabrik (Purnomo, 2008).
2.3.4.Pakan Buatan
       Menurut Mudjiman (2004), menyatakan pakan buatan (artificial feed) adalah pakan yang sengaja dipersiapkan dan dibuat, pakan ini biasanya terdiri dari beberapa bahan baku yang kemudian diproses lebih lanjut sehingga bentuknya berubah dari bentuk aslinya.
a.    Persyaratan Bahan Pakan Buatan
       Menurut Wardiningsih (1999), menyatakan bahwa untuk membuat pakan buatan bagi udang, maka pertama-tama kita harus mengetahui terlebih dahulu komposisi yang baik pada pakan udang yang baik pada udang tersebut. Sebelum kita membahas tentang komposisi dari pakan buatan untuk udang maka sebaiknya kita lihat persyaratan bagi bahan-bahan yang akan diramu menjadi pakan buatan bagi udang.
         Dalam memilih bahan ramuan pakan yang harus diperhatikan adalah kandungan asam aminonya. Selain itu bahan-bahan tersebut harus memenuhi beberapa persyaratan, diantaranya sebagai berikut :
1.    Mempunyai nilai gizi yang tinggi, kandungan proteinnya relatif tinggi dan bermutu.
2.    Mudah diperoleh dan diolah.
3.    Tidak mengandung racun.
4.    Harganya relatif murah.
         Nilai gizi bahan makanan dapat diketahui dengan cara pemeriksaan laboratorium. Bagi pekerja praktek di lapangan yang tidak mungkin mengadakan pemeriksaan laboratorium dapat cukup dengan melihat daftar komposisi makanan para ahli. Komposisi makanan hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan untuk pembuatan bahan makanan yang diramu diharapkan memenuhi kebutuhan gizi.
b.      Penyediaan Pakan Buatan
         Pakan buatan merupakan alternatif yang penyediaannya secara kontinyu memungkinkan dan dapat digunakan sebagai pengganti atau pelengkap makanan hidup (Sumeru dan Anna, 1992).
Tabel 5. Bentuk dan Ukuran Pakan Buatan
No
Bentuk Pakan
Ukuran Pakan
Stadia Larva
1
Powder (serbuk)
<20 mikron
larva
2
Flake (serpihan)
0,5 mm
PL 1 - PL15
3
Crumble (remahan)
1 mm
PL 20 ke atas
Sumber: Umiyati dan Kusnendar, (1987)
c.      Dosis Pakan Buatan
         Menurut Sumeru dan Anna (1992), bahwa pengaturan jumlah pemberian pakan selama pemeliharaan dihitung berdasarkan hasil sampling. Untuk mempermudah penghitungannya, maka jumlah pakan yang diberikan mengikuti ketentuan sebagai berikut:
1)    Udang stadia zoea, yaitu dengan jumlah 1,5 ppm.
2)    Udang stadia mysis, yaitu dengan jumlah 1 ppm.
3)    Udang stadia post larva, yaitu dengan jumlah 1 ppm.
d.      Cara Pemberian Pakan Buatan
         Menurut Mudjiman (2004), bahwa untuk burayak dan benih yang masih kecil, pakan diberikan dengan menyebarkan secara merata di seluruh permukaan air. Apabila berbentuk larutan maka pemberiannya dilakukan dengan alat penyemprot (spriyer). Pakan yang berbentuk tepung remah dapat diberikan dengan cara ditaburkan menggunakan tangan.
e.      Frekuensi dan Waktu Pemberian Pakan
         Menurut Mudjiman (2004), bahwa pemberian pakan untuk burayak dan benih lebih sering dilakukan kurang lebih 6 kali sehari. Apabila pakan sifatnya sebagai pakan pokok, maka pemberian pakan perlu dilakukan sesering mungkin. Tenggang waktu antara pemberian pakan yang pertama dengan pemberian pakan berikutnya sekitar 2 jam.
2.3.5.Pakan Tambahan
         Pakan tambahan menurut Sumeru dan Anna (1992), dibagi menjadi 2 yaitu:
a.      Egg Microcapsulated
         Pembuatan Egg Microcapsulated pada dasar penggunaan telur bagi pakan larva karena telur mempunyai nilai nutrisi yanng cukup tinggi, mudah didapat dengan harga relatif murah, dan mempunyai keseimbangan nutrisi yang dikandungnya. Telur mentah mengandung zat avidin yang dapat menghambat pertumbuhan, sehingga zat tersebut harus dihilangkan dengan cara pemanasan sebelum diberikan pada larva udang. Walaupun demikian, pemanasan dapat menyebabkan pemisahan kuning dan putih telur sebagai akibat denaturasi protein (kerusakan struktur protein). Untuk mengikat kedua bagian tersebut menjadi pakan yang homogen stabil dalam air, diperlukan penambahan bahan pengikat (binder) yang sesuai.
b.      Egg Custard
         Pembuatan Egg Custard, pada prinsipnya sama dengan pembuatan Microcapsulated, karena bahan utama yang digunakan sebagai sumber protein berasal dari telur. Akan tetapi, dapat juga digunakan bahan tambahan untuk sumber protein yang berasal dari bahan hewani yang mempunyai jaringan daging lunak, seperti: kerang, tiram, dan artemia dewasa, dapat dilihat pada Tabel 6 Mengenai manajemen pakan alami larva udang vannamei.

Tabel 6. Manajemen Pemberian Pakan pada Larva Udang Vannamei.
No
Stadia
Jenis pakan
Jumlah pakan
Frekuensi
1
N5-6
Chaetoceros
Min. 50.000 sel/ml/hr

2
Zoea I
Chaetoceros
Lancy Zm
Min. 50.000 sel/ml/hr
3 ppm/hr
2
6
3
Zoea II
Chaetoceros
Lancy Zm
Min. 50.000 sel/ml/hr
3 ppm/hr
2
6
4
Zoea III
Chaetoceros
Lancy Zm
Min. 100.000 sel/ml/hr
4 ppm/hr
2
6
5
Mysis I
Chaetoceros
Lancy Zm
Flake
Min. 100.000 sel/ml/hr
4 ppm/hr
4 ppm/hr
2
6
6
6
Mysis II
Chaetoceros
Lancy MPL
Flake
Min. 100.000 sel/ml/hr
4 ppm/hr
4 ppm/hr
2
6
6
7
Mysis III
Chaetoceros
Lancy MPL
Flake
Artemia
Min. 50.000 sel/ml/hr
6 ppm/hr
6 ppm/hr
10 ind/hr
2
6
6
3
8
MPL-PL 1
Chaetoceros
Lancy MPL
Flake
Artemia
Min. 50.000 sel/ml/hr
6 ppm/hr
6 ppm/hr
20 ind/hr
2
6
6
3
9
PL 2-5
Chaetoceros
Lancy PL
Flake
Artemia
Min. 50.000 sel/ml/hr
8 ppm/hr
8 ppm/hr
60 ind/hr
2
6
6
3
10
PL 5-10
Lancy PL
Flake
Artemia
9 ppm/hr
9 ppm/hr
80 ind/hr
6
6
3
Sumber: BPAP Situbondo, 2006


2.4. Pemeliaraan Larva Udang Vannamei
2.4.1.   Persiapan Bak Pemeliharaan Larva
         Menurut Subaidah, dkk (2006), bak pemeliharaan larva dilapisi dengan cat berwarna biru muda dan dilengkapi dengan pipa saluran udara, instalasi air laut instalasi alga, dan saluran pengeluaran yang dilengkapi saringan sirkulasi dan pipa goyang, serta terpal sebagai penutup agar suhu stabil selama proses pemeliharaan. Sedangkan dalam proses pengeringan, pencucian bak dilakukan dengan menggunakan kaporit 60% sebanyak 100 ppm yang dicampur dengan deterjen 5 ppm dan dilarutkan dengan air tawar pada wadah atau ember kemudian dinding dan dasar bak digosok-gosok dengan menggunakan scoring pad dan dibilas dengan air tawar hingga bersih dan kemudian dilakukan pengeringan selama dua hari. Pencucian dan pengeringan bak ini bertujuan untuk menghilangkan dan mematikan mikroorganisme pembawa penyakit. Pengisian air laut dalam bak pameliharaan disaring dengan menggunakan filter bag. Berdasarkan bentuknya bak pembenihan dapat dibedakan menjadi bak persegi empat, bak berbentuk lingkaran, bentuk bulat telur dan bak yang berbentuk kerucut yang biasa disebut conical tank (Martosudarmo dan Ranoemirahardjo, 1980).
         Larva udang vannamei dapat dipelihara dalam bak yang terbuat dari semen atau fiber glass. Keuntungan menggunakan bak berbahan semen antara lain mudah dalam pembuatan, tahan lama dan mudah dalam memperoleh bahan baku. Kerugiannya antara lain jika lumut tumbuh maka akan sulit dibersihkannya dan bak dapat membuat larva menjadi stress jika tidak ada treatment terlebih dahulu, oleh karena itu bak tidak boleh langsung digunakan karena berpengaruh buruk dalam kehidupan larva. Bak harus direndam dan dicuci terlebih dahulu dengan air tawar. Bak dapat pula dicat untuk menutup pori - pori. Bak dapat berbentuk bulat, oval atau persegi empat berbentuk tumpul. Bak pemeliharaan larva sebaiknya ditempatkan dalam ruangan tertutup untuk menjaga kestabilan suhu dan menjaga intensitas cahaya. Atap bangunan bak pemeliharaan larva dengan menggunakan asbes dengan 20% diantaranya menggunakan atap fiber untuk pencahayaan (Subaidah, dkk, 2006).
2.4.2.   Persiapan Air Media
       Kualitas air harus diatur dan dipelihara pada kondisi menyerupai lingkungan alami udang Penaeid. Air laut yang dimasukkan ke bak harus mengalami beberapa perlakuan dahulu, antara lain penghilangan materi organik yang terlarut dengan cara filtrasi dan pengendapan, ozonisasi untuk menghilangkan sebagian besar mikroorganisme, dan pendinginan air (25oC - 28oC) agar didapat suhu yang menyerupai habitat asli udang Penaeid. Thermostat diatur pada suhu 27oC dan fluktuasi temperatur harian diatur agar kurang dari 0,5oC (Wyban et al., 1991).
2.4.3.   Penebaran Naupli
         Penebaran nauplius dilakukan pagi hari dengan tujuan untuk menghindari perubahan suhu yang terlalu tinggi dengan cara aklimatisasi 15 menit atau sampai suhu dalam dengan suhu di luar wadah sama dengan menggunakan thermometer 0°C. Aklimatisasi ini bertujuan untuk menyesuaikan naupli dengan perubahan kondisi lingkungan air di bak pemeliharaan larva (Subaidah dkk, 2006)
Nauplius yang ditebar adalah nauplli muda (N3 - N4), hal ini bertujuan agar menekan gangguan proses metamorfosis sekecil mungkin dari stadia protozoea pertama. Karena pada proses pemeliharaan larva udang putih vannamei sering dikenal dengan istilah zoea syndrome atau zoea lemah.
2.4.4.   Pengolahan Pakan

       Jenis pakan yang diberikan pada larva udang vannamei selama proses pemeliharaan ada dua jenis yaitu pakan alami ( phytoplakton dan zooplakton ) dan pakan komersil (buatan). Masing-masing makanan tersebut diberikan dengan jumlah dan frekuensi tertentu sesuai dengan stadia larva. Menurut Cahyaningsih dkk (2006),  pakan alami dari jenis zooplankton yang diberikan pada larva udang vannamei antara lain dapat berupa Artemia Salina dengan cara dilakukan pengulturan selama 24 jam dalam wadah berupa gollon air minum  volume 20 liter, baru kemudian dapat diberikan pada larva udang vannamei pada M3 – PL1 dengan kepadatan 3 - 4 individu/ml, pada PL2 – PL5 dengan kepadatan 8 - 10 individu/ml, dan PL6  – PL10 dengan kepadatan 11 - 13 individu/ml.
       Nauplius artemia merupakan zooplankton yang banyak diberikan pada larva udang. Hal ini dikarenakan nauplius Artemia banyak mengandung nilai nutrisi yang dibutuhkan oleh larva udang. Kebutuhan nauplius Artemia mutlak diperlukan seiiring dengan peningkatan usaha pertambakan. Teknik penetasan kista Artemia dilakukan pada conical tank yang berkapasitas 200 liter. Sedangkan bahan yang digunakan untuk proses dekapsulasi kista artemia adalah klorin (NaOCL) dan soda api. Sumber air diperoleh dari air laut dengan menggunakan pompa air dan sumber air tawar berasal dari sumur. Kualitas air yang terukur adalah suhu air 31°C, salinitas 34 promil, pH 8 dan cahaya dari 2 buah lampu 40 watt. Pemanenan nauplius Artemia dilakukan setiap hari dan langsung dikonsumsikan pada larva udang vannamei stadia post larva (PL1 - PL4). Proses pemberian nauplius Artemia ini dilakukan sebanyak 3 kali yaitu pada pukul 08.00, 13.00 dan 19.00. Selain pemberian nauplius Artemia larva udang vannamei juga diberikan pakan alami Chaetoceros gracilis dan pakan buatan dari pabrik (http://adln.lib.unair.ac.id/, 2007).
Selain pakan alami selama proses pemeliharaan larva udang vannamei diberikan juga pakan tambahan berupa pakan komersil yang tujuannya untuk menjaga agar tidak sampai terjadi under feeding selama pemeliharaan larva. Pakan buatan (artificial feed) adalah pakan yang sengaja disiapkan dan dibuat. Pakan ini terdiri dari ramuan beberapa bahan baku yang kemudian diproses lebih lanjut sehingga bentuknya berubah dari bentuk aslinya.
2.4.5. Pengelolaan Kualitas Air
       Pengelolaan kualitas air pada masa pemeliharaan larva udang vannamei di lakukan dengan beberapa cara, yaitu monitoring, pengecekan kualitas air, water exchange, dan penyiponan. Monitoring kualitas air dilakukan setiap hari yaitu pada setiap hari, parameter air yang dilakukan monitoring rutin adalah suhu dengan tujuan agar selama masa pemeliharaan proses metabolisme dan metamorfosis larva lancar yaitu berkisar pada 29 - 32 oC. Sedangkan untuk pengecekan parameter kualitas air selama pemeliharaan larva dilakukan pada setiap pergantian stadia. Parameter pH berkisar pada 7,5  - 8,5 salinitas berkisar 29 - 34, dan kadar nitrit maksimal 0,1 ppm hal ini sesuai dengan ketentuan dalam SNI produksi benih udang vanname (Faichan dkk, 2006).
       Selain pengukuran parameter-parameter tersebut Subaidah dkk, (2006) juga menambahkan perlunya melakukan pergantian dan penambahan air secara sirkulasi dangan cara melihat air secara visual, bila di permukaan air telah banyak gelembung-gelembung busa yang telah menumpuk dan gelembung tersebut tidak dapat pecah kembali. Ini diasumsikan air pada kondisi jenuh dan telah terjadi banyak perombakan - perombakan gas di dalam air. Pengisian air pada awal penebaran naupli adalah sekitar 30 % dari kapasitas wadah, saat stadia zoea ditambahkan sampai 70 %, stadia mysis 80 % dan stadia post larva 100 %).
2.4.6. Pengendalian Hama dan Penyakit
       Menurut Subaidah dkk, (2006) pengendalian hama penyakit dilakukan dengan menggunakan prinsip dasar yaitu tindakan pencegahan dan pengobatan. Fluktuasi udara yang cepat berubah mempengaruhi lingkungan pemeliharaan larva udang vannamei yang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan, terutama dari stadia Naupli ke stadia zoea. Organisme patogen umumnya memiliki siklus hidup yang pendek namun cepat berkembang.
       Tindakan pencegahan dilakukan dengan cara mulai dari penerapan biosekuriti dengan menggunakan PK (Kalium Permanganat) sebanyak 1,5 ppm yang ditempatkan pada awal pintu masuk sebelum memasuki dan akan memasuki ruangan. Selain penerapan biosekuriti dilakukan juga sanitasi peralatan yang dilakukan sebelum dan sesudah pemakaian peralatan dengan cara dipping menggunakan foramalin 100 ppm pada setiap bak. Pada pemeliharaan larva dilakukan juga pemberian obat-obatan yang aman seperti Treflan,  lodin atau EDTA setiap tiga hari sekali (Faichan dkk, 2006).
       Jenis penyakit yang umumnya menyerang larva udang vannamei antara lain disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Jenis penyakit yang menyerang udang vannamei

Jenis Organisme
Jenis Penyakit
1. Parasit


2. Bakteri
3. Jamur


4. Virus
- Zoothamnium
- Vorticela
- Epistylis
- Vibriosis
- Silorpidium sp
- Halipthorus sp
-Lagenidium sp
-IHHNV (Infectious hypodermal haematopoietic
  necrosis virus)
- TSV (taura syndrome virus)
- WSSV atau SEMBV (white spote syndrome virus)
- YHV (yellow head virus).
Sumber: Haliman dan Adijaya, 2005
2.4.7. Monitoring Pertumbuhan
Pengamatan pertumbuhan larva udang dilakukan bertujuan untuk mengontrol pertumbuhan larva. Apabila pertumbuhan larva lambat dapat dipacu dengan pemberian pakan yang berkualitas. Menurut Amri dan Kana, (2008), mengatakan apabila pakan yang diberikan berkualitas baik, jumlahnya mencukupi, dan kondisi lingkungan mendukung, maka dapat dipastikan laju pertumbuhan udang akan lebih cepat sesuai yang diharapkan. Sedangkan untuk mengamati kesehatan larva perlu dilakukan dengan pengamatan makroskopis dan mikroskopis antara lain yaitu :
  • Pengamatan Makroskopis
Pengamatan makroskopis dilakukan secara visual dengan mengambil sampel langsung dari bak pemeliharaan sebanyak 1 liter becker glass kemudian diarahkan ke cahaya untuk melihat kondisi tubuh larva, pigmentasi, usus, sisa pakan kotoran atau feces dan butiran-butiran yang dapat membahayakan larva.
  • Pengamatan Mikroskopis
Dilakukan dengan cara mengambil beberapa ekor larva dan diletakkan di atas gelas objek, kemudian diamati dibawah mikroskop. Pengamatan ini dilakukan untuk mengamati morfologi tubuh larva, keberadaan parasit, pathogen yang menyebabkan larva terserang penyakit. (Subaidah dkk, 2006).
2.4.8. Pemanenan
       Pemanenan benur dilakukan dimulai pada stadia PL10 atau ukuran PL telah mencapai 1 cm dan yang telah memenuhi kriteria - kriteria benur yang siap dipanen. Pemanenan benur dilakukan dengan menurunkan volume air 8 ton. Setelah mencapai 8 ton, pipa saringan sirkulasi larva dibuka dan air dari saluran pengeluaran ditampung dalam ember yang telah dimodifikasi dengan pemberian saringan kasa dan larva yang telah banyak di dalam ember dipindahkan ke tempat lain dengan menggunakan serokan. Benur yang telah dipanen dipindahkan ketempat pengemasan dengan diberi aerasi dan selanjutnya dikemas dengan kantong plastik dan diberi oksigen. Kepadatan benur sesuai dengan jarak transportasi, biasanya untuk kantong dengan volume air 10 liter kepadatan 2000 –  4000 ekor PL-10 (Subaidah dkk, 2006).
       Secara penglihatan mata / visual dapat dilihat beberapa ciri benur yang baik, antara Iain terdapat pada Tabel 8.
Tabel 8. Ciri-ciri benur yang baik
Ciri- ciri
Keadaan
1.    Organ


2.    Gerakan benur

3.   Bentuk tubuh
4.   Warna
5.   Reaksi benur



6.   Keadaan tubuh

7.     Makan

Ekor, mata, kaki, antara kulit dalam keadaan lengkap dan tidak cacat
Gerakan benur lincah dan suka melawan arus                               Bentuk tubuh ramping memanjang Warna tubuh jernih / putih kecokelatan Benur sensitif atau peka terhadap gangguan fisik pada lingkungannya, seperti benur akan segera bergerak cepat atau bila dikejutkan             Keadaan tubuh benur bersih dari kotoran dan Iumut                          Benur aktif mencari makan dan nafsu makan tinggi                                                                                                 
Sumber: www.aquaculture.com, 2008